Bagaimana mentradisikan budaya tulis santri di Pesantren
Oleh A. Fatih Syuhud
"Kyai, Santri dan Karya Tulis: Kyai Indonesia itu “Qona’ah”"
Kata-kata yang saya jadikan judul di atas adalah kutipan langsung dari seorang Ulama kenamaan India Syed Abul Hasan Annadwi, seorang penulis prolifik dari 200-an lebih buku, tokoh Sufi, pengasuh “pesantren” Nadwatul Ulama, Lucknow, India. Ungkapan halus penuh empati itu beliau ucapkan di depan sejumlah mahasiswa Indonesia yang sedang berkunjung, termasuk penulis. Apa yg diungkapkannya sebenarnya mengandung sindiran halus atas “kering”-nya karya yg muncul dari para kyai pengasuh pesantren di Indonesia. Terutama karya-karya besar dalam bentuk buku utuh, bukan kumpulan tulisan-tulisan di media. Penulis tidak akan membandingkan kadar produktifitas kyai Indonesia dengan para Ulama di negara Arab, Mesir misalnya.
Karena sistem pembelajaran mereka yang rata-rata melalui bangku universitas dengan sistem yang sistematis telah memungkinkan mereka untuk produktif.
Tulisan singkat berikut cuma akan membuat perbandingan antara “kyai” di India yang umumnya dipanggil Maulana dan Kyai Indonesia.
Pesantren Salaf
Rata-rata kyai tradisional adalah hasil didikan dari pesantren tradisional (salaf). Dan hal ini tidak berbeda dengan para kyai di India yang umumnya lulusan “pesantren salaf” Darul Ulum, Deoband. Deoband adalah sebuah daerah sejauh kurang lebih 150 km dari New Delhi yang sekaligus menjadi nama populer salah satu pesantren tertua di India ini (didirikan pada 30 Mei 1866). Dilihat dari usianya sebenarnya pesantren ini tidak jauh beda usianya dengan pesantren-pesantren tua Indonesia yang terkenal, seperti Langitan, Sidogiri, Lirboyo, Tebuireng, dll.
Pesantren salaf Deoband banyak menelorkan Kyai-kyai yg di India disebut dengan julukan Maulana. Sama dengan pesantren salaf Indonesia yang banyak menciptakan Kyai besar berkaliber nasional maupun internasional. Kelebihan dari pesantren-pesantren salaf di India adalah mereka juga berhasil menciptakan banyak penulis produktif, mufassir handal, muhaddits terkenal, faqih yang mumpuni, yang semua keahlian mereka itu dapat kita nikmati melalui karya-karya tulis mereka baik berbahasa Urdu maupun yang berbahasa Arab atau Inggris (umumnya diterjemahkan oleh para santri yang berasal dari mancanegara, tapi tidak sedikit kyai India yang menulis dalam bahasa Arab, seperti Al Malibari, penulis kitab Fathul Muin, yang sangat populer di
Indonesia).
Oleh karena itu, nama pesantren Deoband dikenal tidak hanya di India tapi juga di dunia Internasional. Tidak heran kalau lulusan Fadhilat Deoband (setingkat S-1) dari pesantren Deoband ini dapat langsung melanjutkan di tingkat tiga di Universitas Al-Azhar, Mesir. Suatu prestasi yang masih menjadi angan-angan
pesantren-pesantren salaf Indonesia.
Silabus Pendidikan Tidak Sistematis
Mengapa mereka bisa, sedang kita tidak? Ada sejumlah faktor yang menghambat terjadinya akselerasi intelektual santri salaf untuk dapat mumpuni dan produktif dalam disiplin ilmu agama yang mereka tekuni. Salah satunya yang terpenting adalah silabus pesantren salaf yang kurang sistematis. Seperti diketahui, umumnya pesantren salaf memiliki dua sistem pendidikan: madrasah dan pengajian langsung ke Kyai. Penulis melihat kurikulum madrasah di pesantren salaf kurang padat, terlalu banyak pengulangan khususnya dalam bidang tata bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf) dan fiqih. Keharusan menghafal Alfiyah ibnu Malik sebanyak seribu baris adalah sangat time consuming yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk menghafal materi
yang lebih bermanfaat, seperti Qur’an atau Hadits. Sementara kajian Quran dan Hadits, yang nota bene menjadi ujung tombak dari fiqih itu sendiri sangatlah kurang.
Umumnya santri membutuhkan waktu minimum sembilan sampai 12 tahun untuk dapat lulus dari madrasah di pesantren salaf. Ketika seorang santri lulus dari tingkat Tsanawiyah, bagi pesantren yang pendidikan utamanya sampai tingkat ini, seperti Sidogiri; atau Aliyah bagi pesantren-pesantren salaf seperti Lirboyo, Langitan, dll, maka kemampuan yang dapat diharapkan dari mereka adalah penguasaan Nahwu/Sharaf yang baik, dan dapat membaca kitab-kitab fiqih kelas menengah seperti Fathul Qarib, Fathul Mu’in, dll. Jangan diharapkan mereka dapat menguasai kitab-kitab tafsir di atas Jalalain, atau Hadits-hadits standar seperti
Kutubus Sittah, karena yang dipelajari umumnya tidak lebih dari Bulughul Maram, atau sekelas dengan itu. Untuk sekedar perbandingan, pesantren Deoband (India) hanya membutuhkan waktu delapan tahun dengan perincian masing-masing jenjang pendidikan Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Fadhilat (S-1) ditempuh tiga
tahun. Selesai delapan tahun ini santri sudah menguasai Nahwu/Sharaf, Sastra Arab, kitab Hidayat (al Umm-nya madzhab Hanafi), hadits Kutubus Sittah, plus Muwatha’ Malik, Muwatha Imam Muhammad, dan Thahawi; tafsir Jalalain, dan sejarah Islam dari era Nabi sampai dinasti Muslim India. Kalau santri hendak mengambil spesialisasi (program Master) di bidang tertentu, ia harus menambah dua tahun lagi. Sebagai contoh, bagi yang hendak mengambil spesifikasi tafsir, maka dalam dua tahun tersebut ia akan merampungkan Tafsir Ibnu Kathir, Tafsir Baidhawi, dan ilmu tafsir untuk tingkat advanced yang kemudian diakhiri dengan menulis thesis. Dus, untuk mencapai tingkat “master” santri Deoband hanya membutuhkan waktu 10 tahun.
Solusi dan Harapan
Dari paparan singkat soal kurikulum di atas, jelas terlihat bahwa santri pesantren salaf Indonesia sangat jauh ketinggalan dibanding, katakan, santri salaf di India. Dan ini jelas sangat erat kaitannya dengan lumpuhnya kreatifitas para santri salaf Indonesia.
Terjadinya stagnasi santri salaf Indonesia dari dulu sampai sekarang juga diakibatkan oleh self complacency (merasa puas) terhadap status quo yang ada. Santri sudah merasa puas dan dianggap berhasil apabila sudah dapat membangun dan mendirikan pesantren dengan seratus dua ratus santri. Sikap ini tentu harus segera
dirubah dan direformasi dengan cara membuka diri terhadap sistem pendidikan modern, menanamkan visi baru (umpamanya santri baru dianggap berhasil kalau dapat mendirikan pesantren dan/atau produktif menulis), merombak kurikulum menjadi lebih komprehensif yang akan menggiring santri menjadi betul-betul mumpuni di bidangnya tanpa harus pindah-pindah pesantren, berlapang dada pada dunia luar (baca: kampus) dengan cara mengundang mereka untuk memberi masukan pola pendidikan yang sistematis.
Dengan banyaknya putra kyai salaf (gawagis) yang melanjutkan studi ke luar negeri, terutama ke Mesir, penulis optimistik bahwa reformasi sistem pendidikan dan kurikulum pesantren salaf akan terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Permasalahannya, adakah political will mereka untuk merubah status quo itu?***
0 komentar:
Posting Komentar